Sunday, October 16, 2011

Kemanisan 'Ibadah

Tidak diragukan lagi bahwa ibadah menghadirkan rasa nikmat, kebahagiaan hati kelapangan dada, dan ketentraman jiwa. Rasa-rasa ini hadir ketika seorang hamba sedang melaksanakan ibadah kepada penciptanya. Dan rasa itu terus berlanjutan walaupun setelah selesai melaksanakannya.

Seorang 'abid (yang beribadah) merasakan manisnya iman dalam hatinya, kenikmatan bermunajat dalam dzikir mereka, ketenangan dan ketentraman jiwa ketika ruku' dan sujud. Semua ini adalah kenikmatan ibadah yang sebenarnya diharap oleh nafsun muthmainnah (jiwa yang tenang).

Hal ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam sabdanya:

وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلَاةِ

“Dan dijadikan penyejuk mataku di dalam shalat.” (HR. An-Nasai, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil dalam Ash-Shahihul Musnad, 1/82)

Beliau saw memberikan kenyataan seperti ini karena beliau mendapatkan kelezatan dan kebahagiaan hati ketika mengerjakan shalat. Panjangnya shalat malam beliau merupakan satu bukti kemanisan yang diperoleh tatkala bermunajat kepada Rabb-nya.

Menjelang wafat, Mu’adz bin Jabal radhiallahu 'anhu menangis. Namun ia bukan menangisi ajal yang akan menjemputnya. Berikut sebab tangisnya:

إِنَّمَا أَبْكِي عَلَى ظَمَأِ الْهَوَاجِرِ وَ قِيَامِ لَيْلِ الشِّتَاءِ وَ مُزَاحَمَةِ الْعُلَمَاءِ بِالرُّكَبِ عِنْدَ خَلْقِ الذِّكْرِ

“Aku menangis hanyalah karena aku tidak akan merasakan lagi rasa dahaga (orang yang berpuasa) ketika hari sangat panas, bangun malam untuk melaksanakan shalat di musim yang dingin, dan berdekatan dengan orang-orang yang berilmu saat bersimpuh di halaqah dzikir."

Kenikmatan yang dirasakan seorang hamba dalam ibadahnya tadi merupakan anugerah Allah terbesar baginya. Dia akan selalu rindu dengan ibadah dan senantiasa menunggu-nunggu kehadirannya. Sebelum waktu ibadah itu tiba, dia sudah bersiap diri menyambutnya.

Namun, tidak semua orang yang beribadah merasakan kenikmatan tersebut. Allah sebutkan tentang kondisi orang munafikin yang kosong dari kenikmatan dalam melaksanakan ibadah yang paling utama, yaitu shalat.

وَإِذَا قَامُوا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوا كُسَالَى يُرَاءُونَ النَّاسَ وَلَا يَذْكُرُونَ اللَّهَ إِلَّا قَلِيلًا

"Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. Dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali." (QS. An Nisa': 142)


Imam Ibnu Kathir rahimahullah berkata dalam menfasirkan ayat di atas, "inilah sifat orang munafikin terhadap amal ibadah yang paling mulia, utama, dan terbaik, yaitu shalat. Jika melaksanakannya, mereka berdiri dengan malas. Hal ini disebabkan karena tidak ada niat dalam dirinya, tidak mengimaninya, dan tidak memahami maknanya."

Sesungguhnya orang yang merasakan kenikmatan ibadah memiliki tanda-tanda zahir sebagaimana iman juga memiliki tanda tanda zahirnya. Allah berfirman,

سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِمْ مِنْ أَثَرِ السُّجُودِ

"Tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud." (QS. Al Fath: 29)

Abu Darda', salah seorang sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam berkata: "Wahai Ahlul Madinah, kenapa aku tidak melihat kenikmatan iman pada diri kalian? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, kalau seandainya seekor hewan merasakan kenikmatan iman pasti akan terlihat manisnya iman padanya." (Dalam az Zuhd libni al Mubarak dan Syu'ab al Iman milik Imam al Baihaqi: III/130)

Di antara tanda-tanda orang merasakan nikmatnya ibadah adalah bersegera melaksanakan ketaatan, memperpanjang bacaan shalat, merutinkan puasa, memperbanyak tilawah al Qur'an, merasa rugi jika tertinggal dari melaksanakan ketaatan, dan rindu bertemu dengan Allah untuk merasakan kenikmatan terbesar.


1. Bersegera Melaksanakan Ketaatan


Sikap seorang mukmin jika menghadapi macam ibadah apapun, dia akan bersegera melaksanakannya karena rindu dengan kedatangannya. Baik terhadap waktu shalat, kedatangan bulan ramadlan, haji, jihad atau ibadah lainnya.

Dia berusaha agar tidak didahului oleh orang lain dalam masalah ibadah. Sebagaimana dia tidak mau menjadi urutan pertama dalam urusan dunia dan terlambat dalam urusan akhirat. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda,

لاَ تَكُنْ أَوَّلَ دَاخِلِ السُّوْقِ وَلاَ آخِرَ خَارِجٍ مِنْهَا

"Janganlah menjadi orang yang pertama kali masuk ke dalam pasar dan yag terakhir keluar darinya." (HR. at Thabrani dalam al Kabir dengan sanad shahih dan al Baihaqi dalam Syu'ab al Iman) karena pasar menjadi markaz syetan dan dikibarkan bendera mereka. Hal ini menunjukkan agar seorang mukmin tidak berlumba lumba mengejar urusan dunia, tapi mereka hanya berlumba lumba dalam urusan akhirat. Berlumba lah kamu dalam melaksanakan kebaikan.

Berllumba lumba menjadi juara dalam urusan akhirat tidaklah termasuk kategori perlumbaan yang tercela. Bahkan mengalah dalam hal ini tidak diperbolehkan. Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

التُّؤَدَةُ فِي كُلِّ شَيْءٍ خَيْرٌ إِلَّا فِي عَمَلِ الْآخِرَةِ

"Mengalah (mendahulukan yang lain) dalam segala sesuatu itu baik, kecuali dalam urusan akhirat." (HR. Abu Dawud dan dishahihkan oleh al Hakim dan disepakati oleh al Dzahabi dari Sa'id bin Abi Waqqash dalam Shifatus Shafwah (III/304).

'Adi bin Hatim, salah seorang shabat, sudah bersiap-siap melaksanakan shalat sebelum datang waktunya dan selalu rindu dengan kehadirannya. Dia menyatakan, "tidaklah datang waktu shalat kecuali aku sudah siap. Dan tidaklah datang waktu shalat kecuali aku sudah sangat rindu melaksanakannya."

Tokoh besar Tabi'in, Sa'id bin Musayyib mengatakan, "sejak tiga puluh tahun, tidaklah seorang mu'adzin mengumandangkan adzan kecuali aku sudah berada di masjid."

Beliau juga pernah mengatakan, "aku tidak pernah ketinggalan takbir pertama dalam shalat selama 50 tahun. Aku juga tak pernah melihat punggung para jamaah, karena aku selalu berada di shaf terdepan selama 50 tahun."

Muhammad bin Sama'ah at Tamimi rahimahullah menyatakan selama empat puluh tahun tidak pernah tertinggal takbiratul ihramnya imam, kecuali ketika ibunya meninggal.

Muhammad bin Sama'ah at Tamimi . . . selama empat puluh tahun tidak pernah tertinggal takbiratul ihramnya imam. . .

Al Imam al Qari', 'Ashim bin Abil Junud ketika melewati sebuah masjid pasti beliau mampir untuk melaksanakan shalat di sana. Hal ini karena beliau sangat rindu dengan shalat.

Yunus bin Ubaid sudah dalam keadaan siap sebelum perintah Allah datang kepadanya. Makanya dia sentiasa dalam keadaan suci supaya tidak tertinggal dari shalat sunnah atau shalat wajib ketika datang waktunya.

Juga perlu diketahui, syaitan berusaha keras agar seorang mukmin terlambat melaksanakan ibadah. 



Dalam sebuah hadith shahih disebutkan, syaitan mengikatkan tiga ikatan pada tengkuk seseorang ketika sedang tidur. Pada setiap ikatan tadi syaitan mengatakan, "malam masih panjang teruslah tidur." Dan ketika orang tadi bangun lalu mengingat Allah, maka lepaslah satu ikatan darinya. Lalu jika dia berwudlu, lepas satu ikatan lagi. Dan jika ia shalat maka lepaslah seluruh ikatan syetan sehingga di pagi hari dia akan semangat. Dan jika tidak melakukan semua tadi, di paginya dia akan malas."(HR. Al Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

. . . syaitan berusaha keras agar seorang mukmin terlambat melaksanakan ibadah . . .

Kerananya jangan ditunda-tunda melaksanakan ibadah dan ketika tiba kesempatan beribadah.




2. Memperpanjang bacaan shalat

Orang yang merasakan nikmatnya ibadah tidak akan merasakan banyaknya waktu yang dihabiskannya, bahkan waktu yang panjang terasa sebentar.

Setahun dihabiskan untuk kesenangan terasa sebentar
Sehari yang berisi keburukan terasa setahun


Dari sini, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melaksanakan qiyamullail dengan membaca surat al Baqarah, Ali Imran, dan An Nisa' dalam satu rakaat. Tidak terasa waktu yang lama itu karena terisi nikmatnya munajat.

Begitu juga yang dijalankan oleh para sahabat beliau shallallahu 'alaihi wasallam dan para pengikut mereka. Diriwayatkan dari khalifah Utsman bin 'Affan, beliau mengkhatamkan Al Qur'an dalam satu rakaat. (Diriwayatkan Abu 'Ubaid dalam Fahlaa-il al Qur'an: hal. 90).

Beliau bisa begitu karena tidak merasa penat lamanya berdiri dalam shalat karena merasakan nikmatnya membaca Al Qur'an. Beliau sendiri pernah berkata:

لَوْ طَهُرَتْ قُلُوبُكُمْ مَا شَبِعْتُمْ مِنْ كَلاَمِ رَبِّكُمْ

"Jika hati kalian bersih, pasti tidak akan pernah kenyang untuk membaca al Qur'an." (HR. Ahmad dalam Zawaid al Zuhd: 155)

Tamim ad Daari, Sa'id bin Jubair, dan Imam Abu Hanifah rahimahumullah mengkhatamkan Al Qur'an dalam satu raka'at bersama beberapa orang, sebagaimana yang didokumentasikan oleh oleh Imam Nawawi rahimahullah, "boleh jadi ini pada malam musim dingin yang panjang, ditambah lagi berkahnya masa pada zaman itu." (At Tibyan fi Aadaab Hamalah Al Qur'an: 81)


"Jika hati kalian bersih, pasti tidak akan pernah kenyang untuk membaca al Qur'an."



Abu Ishaq al Sabi'ii rahimahullah ketika sudah tua tidak mampu berdiri shalat sehingga harus dibantu. Jika sudah berdiri shalat, beliau membaca seribu ayat. Beliau mengatakan, "aku sudah tua dan tulangku sudah lemah, sungguh hari ini, aku berdiri shalat dengan membaca surat Al Baqarah dan Ali Imran."


Subhanallah, di kala sudah tua dan lemah, beliau berdiri shalat dan tidak ruku' kecuali setelah membaca surat Al Baqarah dan Ali Imran. Untuk membaca kedua surat tadi, paling tidak dibutuhkan waktu satu seperempat jam.


Di bawah itu ada 'Atha bin Abi Rabbaah (w. 114 H.) pada saat sudah tua dan lemah, beliau melaksanakan shalat dan membaca dua ratusan ayat dari suarat Al Baqarah dengan berdiri, selama itu beliau tidak bergeser dan tidak bergerak. (Dikeluarkan oleh al Baihaqi dalam Syu'ab al Imaan: 6/783)


Khalid bin Daarik berkata, "kami memiliki seorang imam di Bashrah. Dia mengkhatamkan Al Qur'an empat hari sekali selama bulan Ramadlan. Dan kami menilainya sudah meringankan bacaan." Maksudnya dia membaca seperempat Al Qur'an setiap harinya, dan masih dianggap telah meringankannya. Tidak ada pentafsiran lain kecuali mereka itu jika sudah menghadap Rabb-nya Yang Maha Suci dan Maha tinggi, mereka lupa kepada selain-Nya.


Ada bentuk memanjangkan shalat yang lain, yaitu shalat Shubuh dengan wudlu isya'. Dan sudah banyak ulama Salafus Shalih yang mengerjakannya. Maknanya mereka tidak tidur semalaman, waktunya diisi dengan ibadah dan berkhalwah (menyendiri) dengan Allah 'Azza wa Jalla.


Di antara mereka adalah Sa'id bin Musayyib rahimahullah. Disebutkan bahwa beliau melakukan shalat Shubuh dengan wudlu Isya' selama lima puluh tahun. Ini adalah imam at tabi'in dan pemimpin mereka. Dalam amalnya tidak ada yang diingkari. Hal itu tidak hanya dikerjakan satu atau dua tahun. 


Ulama salaf lainnya adalah Sulaiman al Taimi al Bashri rahimahullah yang shalat shubuh dengan wudlu' isya' selama 40 tahun.


Antara salafus Shalih ada yang bersungguh-sungguh ibadah sehingga kalau dikatakan kiamat terjadi besok hari, dia tidak bisa lagi menambah amal ibadahnya, karena sudah dikerjakan melebihi kemampuan. Antara mereka ada Abu Muslim al Khaulani rahimahullah, beliau berkata, "kalau dikatakan padaku, Jahannam sudah dinyalakan, maka aku tak bisa lagi menambah amalku."


Kenikmatan ibadah yang dirasakan sebagian ulama menjadikan mereka berdoa kepada Allah agar menganugerahkan shalat di kuburnya. Harapannya supaya boleh merasakan nikmatnya shalat di alam kubur sebagaimana yang dirasakannya di dunia.

Tsabit bin Aslam al Bannaani al Bashri rahimahullah berkata, "tidak ada sesuatu yang kurasakan dalam hatiku lebih nikmat daripada qiyamullail." Dan beliaupun berdo'a "Ya Allah, jika Engkau masih memberikan kesempatan untuk shalat dalam kuburnya, maka berikan aku kesempatan shalat dalam kuburku." (Dikeluarkan oleh al Baihaqi dalam Syu'ab al Imaan: 6/402)

Mereka menghidupkan malamnya dengan ketaatan kepada Rabb-nya

Dengan tilawah, tadharru', dan berdoa

Air mata mereka mengalir dengan deras

Seperti mengalirnya lembah karena hujan

Di waktu malam laksana rahib, dan ketika berjihad

menghadapi musuhnya, mereka panglima paling berani

Di wajahnya terdapat bekas sujud pada tuhan-nya

Dengannya kilauan pancaran cahaya-nya



Imam al Syatibi rahimahullah berkata, "yang disebutkan tentang orang shalih terdahulu berupa amal-amal mereka yang berat yang tidak bisa dikerjakan kecuali oleh individu individu yang telah Allah persiapkan untuk melaksanakannya dan menyiapkannya untuk mereka. Allah telah menjadikan mereka suka kepada amal-amal itu. Hal itu tidaklah menyimpang dari sunnah, bahkan mereka tergolong dalam kelompok as Sabiqiin (bersegera melaksanakan ketaatan), semoga Allah menjadikan kita dalam barisan mereka. Hal itu disebabkan alasan yang menjadikan dilarangnya beramal yang berat telah hilang dari diri mereka. Maka larangan itu tidak berlaku atas mereka." (Al Muwafaqaat: 2/140)

Sesungguhnya kenikmatan ibadah bukan ada pada zaman dahulu saja. Alhamdulillah, zaman kita sekarang juga masih ada. Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazz rahimahullah selalu menjaga qiyamullail dalam kondisi muqim atau safar. Dikisahkan oleh salah seorang sahabat beliau, dalam sebuah perjalan darat dari Riyadl ke Makkah. Di pertengahan malam, pukul 24.00 waktu setempat, Syaikh berkata: "Bagaimana kalau kita tidur dulu di sini kemudian kita lanjutkan perjalanan esok pagi?" Orang-orang yang dalam rombongan beliau setuju. Lalu mereka tidur, sedangkan Syaikh minta air untuk wudlu kemudian shalat sebanyak yang beliau mau, setelah itu beliau tidur. Ketika bangun shalat Shubuh, mereka dapati Syaikh telah lebih dulu bangun dan sudah shalat. (Sekilas biografi Syaikh Abdul 'Aziz bin Bazz oleh Andurrahman al Rahmah : 236-237)

Suatu kali beliau diundang ke Jeddah -waktu itu beliau berada di Makkah-, beliau menerima undangan itu. Beliau kembali ke rumahnya di Makkah pada pukul 02.00 malam. Orang-orang dalam rombongan beliau tidur. Ketika sudah masuk waktu untuk shalat tahajjud, sekitar pukul 03.00, beliau membangunkan mereka untuk shalat. Kamudian beliau shalat hingga masuk shubuh. Setelah shalat, beliau menyampaikan ceramah sebentar lalu melakukan mu'amalah.

Itulah beliau, di tengah-tengah agenda harian beliau yang padat, tidak pernah meninggalkan qiyamullail.

Wahai saudaraku, karena Allah, contoh-contoh yang disebutkan di depan terasa jauh dari angan-angan kita. Jika kita mahu, pasti boleh Insya Allah. Caranya, laksanakan secara bertahap, sedikti-demi sedikit. Mulailah shalat malam dengan beberapa surat pendek. Setelah berjalan beberapa hari, mulailah membaca surat-surat panjang. Lama-kelamaan, kita akan terbiasa melaksanakan shalat dengan lama. Jangan seperti orang yang langsung shalat dengan bacaan panjang lalu berhenti, tidak melaksanakannya lagi. Sesungguhnya amal yang paling disukai Allah adalah yang istiqamah walaupun sedikit.

Sesungguhnya 'amal yang paling disukai Allah adalah yang istiqamah walaupun sedikit.
Man Jadda wa Jadda, Barangsiapa yang bersungguh sungguh pasti akan Mendapatnya

Ibadah and Thaqhut


Shaikh Ibn Taymiyyah (rahimahullaah) said,
"Ibadah is a collective term for everything that Allaah loves and is pleased with from amongst sayings and inward and outward actions."

He also said,
"Ibadah is obedience to Allaah by carrying out what He has commanded through tongues of His Messengers."


The Meaning of Ibadah


Author: Shaykh 'Abdur-Rahmaan Ibn Hasan (d.1258H)
Source: Fathul-Majeed li-Sharh Kitaabit-Tawheed (1/84-90)
Published: Monday 31st October, 2005 

The Meaning of Ibadah (Worship)

The statement of Allaah - the Most High:
"I did not create the Jinn, nor mankind, except to worship Me." [az-Dhaariyaat 51:56] 

Shaykhul-Islaam Ibn Taymiyyah (d.728H) - rahimahullaah - said:
"Worship (al-'Ibaadah) is obedience to Allah by following that which He ordered upon the tongues of His Messengers." He also said, "Worship (al-'Ibaadah) is a comprehensive term covering everything that Allaah loves and is pleased with - whether saying, or actions, outward and inward." [Majmoo'ul-Fataawaa (10/149) of Ibn Taymiyyah] 

Ibnul-Qayyim (d.751H) - rahimahullaah - said:
"Worship revolves around fifteen principles. Whosoever completes them has completed the stages of 'uboodiyyah (servitude to Allaah). The explanation of this is that 'ibaadah is divided between the heart, the tongue, and the limbs. And that for each one of these three come five types of rulings, covering all actions: waajib (obligatory), mustahabb (recommended), haraam (prohibited), makrooh (disliked), and mubaah (permissible)." [Madaarijus-Saalikeen (1/109)]

Imaam al-Qurtubee (d.671H) - rahimahullaah - said:
"The root of 'ibaadah is humility and submissiveness. The various duties that have been prescribed upon the people are called 'ibaadaat (acts of worship), since what is required is that these acts of worship must be done with humility and submissiveness to Allaah - the Most High." [Al-Jaami' li-Ahkaamil-Qur'aan (1/225), and (17/56) of al-Qurtubee]

Ibn Katheer (d.774H) - rahimahullaah - said:
"And 'ibaadah is obedience to Allaah by acting upon what He commands, and abandoning what He forbids; and this is the reality and essence of Islaam. And the meaning of Islaam is: istislaam (submission and surrender) to Allaah - the Most High - along with the utmost compliance, humility, and submissiveness to Him."

He also said whilst explaining the above aayah:
"Indeed Allaah - the Most High - created the creation so that they could worship Him alone, without associating any partner with Him. Whoever obeys Him will be completely rewarded, whereas whoever disobeys Him would be punished with a severe punishment. And He has informed that He is neither dependant, nor does He have any need for them. Rather, it is they who are in dire need of Him, in every condition and circumstance, since He is the One who created, sustains, and provides for them." [Tafseerul-Qur'aanil-'Adtheem (7/402)]

The Meaning of Taaghoot

The statement of Allaah - the Most High:
"And to every nation We sent Messengers, ordering them that they should worship Allaah alone, obey Him, and make their worship purely for Him; and that they should avoid at-Taaghoot." [Sooratun-Nahl 16:36]

And at-taaghoot is from the word at-tughyaan, which means: going beyond the limits.

'Umar Ibnul-Khattaab (radi-Allaahu 'anhu) said:
"The taaghoot is Shaytaan." [Related by at-Tabaree in Jaami'ul-Bayaan 'an-Ta'weelil-Qur'aan (no. 5834), al-Haafidh Ibn Hajr said in Fathul-Baaree (8/251), "Its chain of narrators is strong."]

Jaabir (radi-Allaahu 'anhu) said:
"The taaghoots are the soothsayers and fortune-tellers upon whom the devils descend." [Related by at-Tabaree in his Tafseer (no. 5845)]

Imaam Maalik (d.179H) - rahimahullaah - said:
"Taaghoot is that which is worshipped besides Allaah." [Related by as-Suyootee in ad-Durarul-Manthoor (2/22), by way of Ibn Abee Haatim]

So this is what has been mentioned by certain people.
However, Imaam Ibnul-Qayyim - rahimahullaahu ta'aalaa - has given a very comprehensive definition, so he said,
"The taaghoot is all that which causes the person to exceed the limits with regards to that which is worshipped, followed, or obeyed. So the taaghoot in any nation is whosoever turns to other than Allaah and His Messenger for matters of judgement; or is pleased to be worshipped besides Allaah; or is followed without a clear proof from Allaah; or is obeyed in that which is known to be disobedience to Allaah." [I'laamul-Muwaqqi'een (1/53)]

Wallahu a'lam